Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, berjanji akan menindak anggotanya yang melakukan tilang manual kepada para pelanggar lalu lintas dan sistem setoran ke atas. Langkah ini guna mengikis pungutan liar (pungli) di tubuh Polri.
Pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai, pernyataan tersebut sebagai respons atas arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai memanggil perwira tinggi (pati) Polri ke Istana. Dia berpandangan, semestinya wacana tersebut dilaksanakan jauh-jauh hari.
"Harusnya itu tak perlu menunggu arahan Presiden karena setoran, pungli, gaya hidup hedon itu problem di kepolisian yang sudah lama dan menahun," ucapnya kepada Alinea.id, Rabu (26/10).
Apalagi, sambung Bambang, wacana menindak personel kepolisian yang melakukan tilang manual, menghilangkan kebiasaan setoran dan pungli, serta meninggalkan gaya hidup bermewah-mewahan bukan hal baru. Pangkalnya, pernah dilontarkan para pendahulu Sigit.
"Larangan untuk meniadakan setoran itu juga dilakukan 12 tahun lalu oleh Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD). Larangan untuk tidak bergaya hedon itu juga sudah dilakukan Kapolri, Jenderal Idham Azis, 3 tahun lalu. Larangan pungli juga digaungkan Presiden dengan menerbitkan Perpres 87/2016 dengan membentuk Satgas (Satuan Tugas) Saber (Sapu Bersih) Pungli," tuturnya.
"Jadi, kalau saat ini hanya membuat pernyataan-pernyataan larangan saja, sepertinya hanya sekadar retorika dan klise karena itu terus diulang-ulang," imbuh dia.
Menurut Bambang, hal terpenting yang dilakukan Kapolri sebagai langkah konkret menghilangkan kebiasaan pungli dan setoran di instansinya dengan mewajibkan seluruh pejabat struktural dan fungsional Polri membuat Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) hingga tenggat yang ditentukan. Namun, harus disertai praktik para pimpinan Polri.
Selanjutnya, memberikan hukuman (punishment) dan penghargaan (reward) kepada anggota yang menyusun LHKPN tersebut. Tujuannya, mendorong kompetisi pelayanan yang adil dan memunculkan efek jera. "Tanpa ada konsistensi keteladanan dan tindak tegas, akhirnya yang ada hanya lips service," ujarnya.
Bambang menambahkan, penindakan terhadap personel kepolisian yang melakukan pungli nantinya tak sekadar menyinggung masalah etik dan disiplin. Sebab, pungli, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001, menjadi salah satu modus korupsi.
"Personel harus dipidanakan dan di-PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat), bukan cuma disanksi etik berupa demosi saja, yang faktanya sampai saat ini tidak memberi jera. Problemnya sampai saat ini, bagi kepolisian, pungli seperti hanya persoalan etik dan disiplin saja. Makanya, sanksi hanya mutasi atau demosi," paparnya.
Lebih jauh, Bambang berpendapat, janji-janji penguatan dan pembenahan Polri yang pernah disampaikan oleh Sigit hingga kini baru sebatas omongan. Belum tampak langkah-langkah konkret secara signifikan yang dirasakan publik.
"Salah satu contoh adalah penyelesaian kasus tragedi Kanjuruhan. Sampai sekarang, hanya menyasar level bawah, operator-operator lapangan. Belum ada penetapan siapa pihak yang bertanggung jawab pada hilangnya nyawa 135 anak-anak bangsa," katanya.
Bagi Bambang, sejak Sigit menahkodai "Korps Bhayangkara" per 27 Januari 2021, belum ada kebijakan-kebijakan autentiknya sebagai bentuk reformasi kepolisian. "Benar, masih sekadar langkah reaktif: merespons desakan publik dan teguran Presiden."
"Kalau kebijakan yang diambil hanya reaksioner seperti itu, akibatnya bila tak ada sorotan publik, akan kembali lagi seperti semula. Artinya, pelanggaran-pelanggaran akan terulang," sambungnya.
Oleh sebab itu, Bambang enggan memberikan apresiasi terhadap kinerja Sigit. "Apakah sebuah pernyataan cukup untuk diapresiasi? Kalau pernyataan-pernyataan kita apresiasi, entar beliau cukup bikin pernyataan-pernyataan saja," pungkasnya.